Rabu, 30 Maret 2016

Pelemahan rupiah dan kondisi ekonomi Indonesia saat ini

PELAMAHAN RUPIAH dan KONDISI EKONOMI INDONESIA SAAT INI
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI)  pada tanggal 14 Maret 2015 Rupiah ditutup di posisi Rp13,191 per US Dollar ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah terhadap US Dollar skrisis moneter tahun 1998. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian kembali  lagi ke level normalnya yaitu Rp9,000-an per US Dollar.
Menariknya, perlu kita ketahui bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tapi pada hari ini meski kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal dan IHSG juga justru malah sukses break new high dalam beberapa bulan terakhir.
Terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk sedikit mengingat kembali ke tahun 2013 lalu tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013. Pemerintah Indonesia pada saat itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan ekonomi’, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level 4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di tahun yang sama. Jadi boleh dikatakan bahwa ‘masalah’ yang dihadapi Pemerintah ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil) dan pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Mungkin ini yang menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor di pasar modal.
Masalah  yang sesungguhnya yang dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat defisitnya neraca ekspor impor yang disebabkan oleh meningkatnya nilai impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri, dan menurunnya nilai ekspor karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet, yang merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tercatat hanya 5.8%, alias turun signifikan dibanding puncaknya yakni 6.9% pada tahun 2011. Jadi ketika Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar, maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut melema.
Pemerintah meluncurkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, maka harapannya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali meningkat, dan alhasil nilai tukar Rupiah akan menguat dengan sendirinya. Berikut adalah empat poin utama dari paket kebijakan Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:
1.      Pemberlakuan potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu mengekspor minimal 30% produksinya
2.      Ekspor bijih mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan asalkan pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.
3.      Meningkatkan porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga diharapkan akan menekan impor bahan bakar minyak jenis solar
4.      Menaikkan pajak untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal 150%.
Berdasarkan keempat poin diatas, maka jelas sekali bahwa tujuan Pemerintah ketika itu adalah untuk meningkatkan ekspor (poin 1 dan 2) sekaligus diwaktu yang bersamaan menekan impor (poin 3 dan 4), sehingga defisit perdagangan yang ketika itu terjadi diharapkan tidak akan terjadi lagi. Paket kebijakan diatas masih menyentuh akar permasalahan dari defisit tersebut, yakni penurunan harga komoditas CPO dan batubara yang merupakan andalan ekspor Indonesia dan peningkatan impor peralatan dan mesin-mesin industri. Sampai hari ini harga CPO dan batubara masih belum pulih kembali. Alhasil, berdasarkan data ekspor impor terakhir dari BPS, sepanjang tahun 2014 Indonesia masih mengalami defisit neraca ekspor impor sebesar US$ 1.9 milyar. Kabar buruknya, angka pertumbuhan ekonomi juga terus turun hingga sekarang tinggal 5.0% pada Kuartal III 2014, dimana jika trend-nya begini terus, maka pada Kuartal berikutnya angka pertumbuhan ekonomi tersebut kemungkinan bakal turun lagi.
Jadi ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per USD, maka sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa, ‘Rupiah melemah karena seluruh mata uang di negara manapun juga sedang melemah terhadap US Dollar’, karena faktanya perekonomian kita memang sedang dalam masalah, dimana masalah ini bukan terjadi baru-baru ini saja melainkan sudah terjadi sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Kalau dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi mungkin agak berlebihan, tapi jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika krisis itu pada akhirnya akan benar-benar terjadi.
Problemnya adalah, terkait ‘akar permasalahan’ tadi, Pemerintah tentunya tidak bisa mengendalikan harga komoditas di pasar internasional dan Pemerintah juga tidak bisa begitu saja menghentikan impor mesin-mesin industri, karena itu akan mematikan industri itu sendiri. Jadi pertanyaannya sekarang, mampukah Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan kebijakan yang meski mungkin juga tidak bisa secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat di implementasikan? Contohnya Ekspor terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara adalah ekspor alat-alat listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin mekanik, agar mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
Ekspor terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak mentah, gas, ataupun minyak olahan. Meskipun nilai ekspor migas ini cenderung turun dari tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya US$ 30.3 milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga minyak dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104 per barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni US$ 96 per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan badan-badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan produksinya.
Baru-baru ini juga  kita saksikan para pedagang daging berdemo karena harga daging melonjak drastis dikarenakan daging sapi yang langka. Kemudian di susul pedagang ayam pun juga  berdemo karena harga ayam juga tidak mau kalah dengan harga daging. Dan ternyata bukan hanya daging dan ayam yang naik, telur, gula pasir, dan cabai pun ikut naik. Kalau pun tidak harga masih fluktuatif di pasar. Tentunya ini menjadi tambahan beban bagi pekerja golongan UMK.
Saat ini berdasarkan data dari BPS jumlah angkatan kerja di Indonesia diperkirakan ada 125,3 juta. Dari jumlah angkatan kerja ini sebagian besar di dominasi oleh lulusan SD ke bawah sebanyak 52 juta atau sebesar 47,27%, kemudian SMP sebanyak 20,46 juta atau 18,6 %, SLTA dan sederajat sebanyak 27,82 juta atau 25,29%, Diploma sebanyak 2,9 juta atau 2,63%, dan lulusan Universitas sebanyak 7,57 juta atau 6,88%. Di perusahaan terutama manufaktur secara demografi berdasarkan pendidikan pun mayoritas di dominasi oleh SLTA ke bawah dengan level operator.
Tentunya dengan melihat fakta-fakta di atas, bahwa yang akan terkena dampak terbesar dari kondisi naiknya dolar dan himpitan harga kebutuhan pokok yang melambung serta badai yang melanda dunia industri adalah tenaga operator. Meskipun dalam situasi seperti ini siapapun itu  mulai dari level operator sampai pengusaha pastinya tidak aman.
Untuk menghadapi kondisi buruk karena di beberapa Bank telah melakukan stress test (sebuah test untuk menguji kesiapan Bank menghadapi kurs dolar di angka 15.000 sampai 16.000), ada baiknya kita sebagai tenaga kerja dan pelaku profesional untuk lebih fokus dan meningkatkan skill serta menunjukkan produktivitas kita. Tidak perlu menyalahkan kondisi lantas menggalang masa untuk berdemo. Karena tentunya itu tidak akan menyelesaikan permasalahan.
Langkah cerdas lain yang bisa ditempuh adalah dengan melengkapi diri dengan berbagai kemampuan life skill seperti memasak, wirausaha, atau pun berbisnis online. Kebetulan saat ini media bisnis online sedang booming-boomingnya. Karena justru ekonomi kreatiflah yang mampu bertahan dari kondisi badai ekonomi, karena tidak bergantung pada ongkos produksi yang mahal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar