PENGANGGURAN DI
INDONESIA
Perekonomian
Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenaga
kerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu,pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
tidak pernah mencapai 7 hingga 8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis
penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen,
tenaga kerja yang bisa terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4
persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari
kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada
sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran
di Indonesia bertambah.
Bayangkan, pada 1997, jumlah
pengangguran terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,30juta),
2000 (5,81 juta), 2001(8,005 juta), 2002(9,13 juta) dan 2003(11,35 juta).
Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja
(144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta). Penduduk yang kerja (90,807
juta), pengangguran terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010
juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta).
Pada 2002: usia kerja(148,730 juta),
angkatan kerja(100,779 juta), penduduk
yang kerja(91,647 juta), pengangguran terbuka (9,132 juta), setengah
pengangguran terpaksa (28,869 juta), setengah pengangguran sukarela tidak
diketahui jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah banyak pengangguran,
apalagi di tahun 2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah
dan mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.
Di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran
terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan
tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang. Masalah
ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup
memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang
besar, pendapatan yang relative rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang
tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,menjadi
beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong
peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan
dalam jangka panjang. Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang
tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga
dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan
sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia ke depan sangat tergantung pada kualitas sumber
daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan
dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk
mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya. Dalam
pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan
fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan
kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu
keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan
tingkat suku bunga kecil yang mendukung. Kebijakan Pemerintah Pusat dengan
kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan
satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan
kerja. Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat 70 persen
penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus secara
terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum
muda oleh semua pihak.
Pengangguran terjadi disebabkan
antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari
jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar
kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para
pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan
erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain;
perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau
keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan
dalam proses ekspor impor, dll. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun
2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah
yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar
(5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak
2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.Masalah
lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam
kerja normal 35 jam perminggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang.
Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah
dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.
Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah
38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Masalah pengangguran dan
setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya
angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta
orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun)
sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain,45,33 juta orang hanya berpendidikan SD
kebawah, ini berarti bahwa angkatan
kerja.di.Indonesia.kualitasnya.masih.rendah. Keadaan lain yang juga
mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan
kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar
91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor
pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong
rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut
berstatus informal. Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya
lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang
tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah. Seluruh gambaran di atas
menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja
yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah
produktivitas tenaga kerja rendah.
Tanggal 17 Oktober lalu komunitas
global baru saja merayakan hari anti kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri
ini, kemiskinan adalah simbol social yang nyaris absolut dan tak terpecahkan.
Sejak masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas
dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita
pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan
bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan
yang di ikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari
kian menyebar bakvirus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban
perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan. Lepas dari perdebatan
indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus menunjukkan trend
memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17 persen dari populasi
penduduk yang kini telah mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi
Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa
(15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75persen). Sementara jumlah
penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9
juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen)
pada Februari 2006.
Referensi:
https://beritagar.id/artikel/berita/data-bps-pengangguran-di-indonesia-756-juta-orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar